Skip to main content

Merekam Jejak Kolonialisme di Ho Chi Minh



Kiri kanan jalan kota Saigon atau yang sekarang lebih dikenal dengan kota Ho Chi Minh ramai pagi itu. Jalanan padat dengan motor-motor yang lalu lalang, tua, muda, laki-laki dan perempuan. Hal yang menarik perhatian kami, adalah pengguna sepeda motor yang menggunakan  helm batok setengah. Setelah sebelumnya kami cukup terkejut dengan posisi sopir yang berada di sebelah kiri, berbeda dengan di Indonesia,
Perjalanan menuju pusat kota berjarak 7 km dari bandara internasional Tan So Nath. Pelayanan imigrasinya sangat cepat dan tidak terlalu ketat.
Sepanjang jalan menuju pusat kota terdapat barisan ruko –ruko yang padat dan tua dengan tulisan berbahasa Vietnam yang menarik walaupun asing.  Gedung-gedung tua yang memudar ini menjadi saksi bisu aktivitas perdagangan di masa lampau. Menurut  catatan sejarah, kota Ho Chi Minh merupakan kota perniagaan yang sangat sibuk. Pedagang dari China, Jepang, India dan negara-negara Eropa menyusuri sungai Saigon, singgah untuk membeli sutera. The Pearl of East Far, demikian Saigon dikenal, menjadi pusat ekonomi di Asia Tenggara.
Tujuan saya ke Ho Chi Minh adalah menghadiri sebuah konferensi internasional di bidang lingkungan bersama ketiga teman saya. Setelah acara , tentu saja kami tidak melewatkan kesempatan untuk menjelajahi dan mengenal kota Ho Chi Minh
“What is that?Is there a show?” Tanya seorang peserta konferensi sambil mengintip melalui jendela hotel Rex, tempat konferensi diadakan. Hotel ini  dulunya pernah bernama Benh Thanh hotel, yang merupakan tempat konferensi pers Amerika ketika Vietnam bersatu kembali pada 1976. Rooftop hotel ini  dahulunya adalah tempat nongkrong para perwakilan militer Amerika dan jurnalis perang Vietnam. 
Oh there is always shows there but tomorrow is a special day of Ho Chi Minh so it must be a preparation” jawab seorang panitia konferensi.
Saya dan teman saya pun bergegas keluar hotel. Tepat di depan hotel adalah  Nguyen Hue Walking Street yang bermula dari Ho Chi Minh City Hall.  Sisa-sisa kolonialisme Perancis terlihat jelas pada arsitektur bangunan yang dibangun pada tahun 1902 sampai 1908. Dahulunya bernama Hotel de Ville de Saigon   yang sejak 1975 juga dikenal sebagai People’s Committee Building. Di depan gedung ini, dulunya terdapat patung paman Ho yang terlihat akrab dengan anak kecil (Uncle Ho with Kids).  Namun pada 2015, di hari peringatan ulang tahun Ho Chi Mih yang ke 125, diresmikan  patung baru setinggi 7,2 m dengan sosok beliau yang lebih karismatik.
Kami berjalan mendekati pedestarian Nguyen Hue sambil memperhatikan acara gladi bersih persiapan ulang tahun Ho Chi Minh untuk  esok hari. Tarian khas lemah gemulai wanita dan pria Vietnam berpadu dengan alunan lagu bertemakan Ho Chi Minh. Kami juga ikut bernyanyi kecil, mengingat satu frasa yang sering diulang  dan akrab di telinga yakni , “Ho Chi Minh..Ho Chi Minh”

Nguyen Ai Quoc (Nguyen The Patriot)
Ho Chi Minh atau yang biasa dikenal dengan Uncle Ho merupakan sosok yang dihormati dan dicintai oleh masyarakat Vietnam. Ia merupakan salah satu tokoh revolusi dalam sejarah Vietnam. Jejaknya di kota Ho Chi Minh terlihat jelas di beberapa tempat di kota dan jalan-jalan. 19 Mei  2017 lalu merupakan hari libur nasional Vietnam  yang secara khusus memperingati hari kelahiran paman Ho yang ke 127. Pada hari tersebut,  presiden Vietnam saat ini,  Tran Dai Quang bersama rombongan melakukan penghormatan dengan memberi karangan bunga di patung paman Ho depan City Hall dan hotel Rex. Sayang, saat itu saya masih berada dalam hotel Rex dan tidak ikut melihat peristiwa tersebut dari dekat. Dilaporkan bahwa peringatan dan penghargaan terhadap Ho Chi Minh tidak saja di Vietnam namun diperingati  di beberapa negara seperti India, Belanda dan  Rusia,
Apa yang membuat paman Ho begitu dihormati dan dicintai? Hingga kota Saigon berganti nama menjadi Ho Chi Minh. Untuk mengenang jasanya dan memperkenalkan kisah hidup paman Ho, dilakukan pameran sepanjang pedestarian Nguyen Hue.
 Paman Ho bernama asli Nguyen Tat Thanh merupakan pejuang pembebasan Vietnam dari penjajahan Perancis dan Amerika. Lahir dan besar pada era jajahan Perancis, membuat paman Ho muda memiliki banyak kenangan pahit  dan kemudian memimpikan Vietnam bebas dari penjajahan. Pada usia 21 tahun, ia meninggalkan Vietnam untuk menemukan cara kembali dan membebaskan negaranya tersebut. Kemudian ia  belajar di Uni Soviet, sekarang Rusia sehinga disangka sebagai antek Rusia kala itu. Dalam masa perjuangan ia menyamarkan namanya menjadi Nguyen Ai Quoc yang artinya Nguyen Sang Patriot.
Ia  bekerja sama   dengan kelompok-kelompok migran Vetnam di Asia, Eropa, Amerika dan Afrika dan bergabung dengan kelompok-kelompok anti kolonialisme.Ia membentuk organisasi pemuda Than Nien di China  (1925) yang merupakan kumpulan tokoh pemuda dan revolusi baik di dalam maupun luar Vietnam  dan IndoChinesse Komunist Party (ICP) di Hongkong.  Gencarnya perjuangan melawah kolonialisme membuat Ho muda dipenjara selama 2 tahun di Hongkong oleh Inggris.
Sekembalinya dari perantauan untuk pertama kalinya, pada tahun 1941,  dengan membentuk Liga Kemerdekaan Vietnam (Viet Minh)  melawan penjajahan Perancis dan Jepang yang juga melukan okupasi di Vietnam. Pada saat itu nama  Ho Chi Minh yang artinya Ho sang pencerah (He who enlightens) mulai ia pakai sebagai identitas. Pada 2 September 1945, setelah kejatuhan Jepang, Viet Minh menguasai Hanoi dan mendeklarasikan kemerdekaan dengan Ho Chi Minh sebagai presiden pertama.
Pada malam tanggal 19 Mei 2017 kami kembali singgah  ke Nguyen Street untuk menikmati suasan malam hari dan menonton pertunjukan. Ada tarian dan vokal grup yang menceritakan tentang Ho Chi Minh, kota dan orang-orangnya. Banyak masyarakat lokal, bersama keluarga, muda mudi  berkumpul menikmati pertunjukan  peringatan perayaan ulang tahun Ho Chi Minh yang ke 127.
Chu Chi Tunnel
Setelah acara konferensi selesai, kami memutuskan untuk mengunjungi terowongan bawah tanah   Chu Chi.  Kami memilih untuk menggunakan transportasi umum dalam kota, dengan dua kali naik bus. Terowongan Chu Chi merupakan salah satu saksi bisu kekejeman perang. Juga lambang kebanggaan dan keberanian Viet Cong mengusir penjajah yang secara teknologi dan fisik lebih canggih dan kuat. Tercatat 43000 ribu  termasuk masyarakat dan tentara menjadi korban dalam perang tersebut. Perang Vietnam  atau perang Indocina ke dua berlangsung dua belas tahun setelah kemerdekaan. Perang ini berakhir pada tahun 1975 dengan kekalahan tentara Amerika
Terowongan  Chu Chi berada di sebelah utara, sekitar 70 km dari pusat kota Ho Chi Minh. Kira-kira jam 9.30 pagi, kami menuju terminal Ben CV.  Terminal ini  sangat mudah dijangkau dengan berjalan kaki dari  penginapan kami di area Pham Ngu Lao. Area yang merupakan kawasan ramai  turis dari berbagai negara. Banyak kafe dan tempat hiburan malam. Banyak hotel dan hostel murah di sini yang biasa menjadi tempat penginapan para backpackers. Tawaran wisata alam, budaya serta sejarah membuat Vetnam menjadi incaran wisata. Didukung Vietnam yang rendah membuat banyak wisatawan mancanegara terutama Amerika dan Eropa
Suasana terminal cukup ramai . Ibu -ibu penjaja minuman menanyakan tujuan kami dengan antuasias. 
“Chu Chi? Tunnels?  “ sambil menunjuk ke arah halte yang berada di salah satu sudut terminal. Tidak banyak penumpang menunggu di sana sehingga kami pun menanyakan ke petugas.
Di sepanjang perjalanan menuju terminal Chu Chi , kami dapat mengamati isi kota secara keseluruhan. Ruko-ruko berdiri berhimpitan, dua sampai empat tingkat. Papan-papan iklan di sepanjang jalan tidak satu pun kami pahami, kecuali nama jalan. Motor-motor berseliweran ramai dari segala penjuru jalanan. Herannya, tidak ada pak Ogah, namun tetap saja lancar meski tidak rapi. Klakson motor dan bus tidak henti-hentinya bersahut-sahutan.
Dari terminal,  kami kembali naik bus ke arah kompleks terowongan. Dua kali naik bus, kondektur kami semuanya adalah perempuan pulang dan pergi. Tidak heran, karena nenek moyang mereka, kaum perempuan ikut dalam pembuatan terowongan bawah tanah. Di kiri kanan jalan pemandangannya hampir sama dengan jalan di Solo- Semarang, demikian kata teman saya yang orang Solo. Tidak jauh berbeda. Bentuk rumahnya pun sama.
Setelah membayar 90000 dong (sekitar Rp.45.000,00),kami memasuki area terowongan. Jalan masuk ke tunnel agak jauh sehingga kami sempat kebingungan. Tiket yang kami bayarkan sudah termasuk seorang pemandu wisata yang akan menjelaskan lebih detail mengenai sejarah pembangunan terowongan tersebut.
Terlebih dahulu, kami menonton pemutaran film mengenai konstruksi terowongan, yang mulai dikerjakan tahun 1940-1960an pada saat perang Indochina dan perang Vietnam. Chu Chi awalnya merupakan salah satu basis perlawanan dan strategi  tentara Vietnam Utara  ketika perang melawan Perancis yang memiliki peralatan tempur lebih maju. Ketika masih diduduki Perancis, panjang terowongan hanya 30 km, kemudian terus digali oleh hampir semua penduduk mencapai 250 km ketika Viet Cong melawan tentara Amerika. Menonton dokumentari yang disajikan perasaan saya campur aduk walaupun sebenarnya menurut saya dokumentari tersebut tidak terlalu mewakili kejadian sebenarnya di mana ribuan orang menjadi korban. Dokumentasi Mickey Grant lebih bercerita  dan detail dibanding dengan wawancara langsung tentara, dokter, masyarakat yang sempat tinggal di terowongan.
Dalam dokumentasi yang kami tonton, digambarkan bahwa Chu Chi dahulunya merupakan daerah yang subur dengan banyak hasil panen yang melimpah. Namun perang tidak saja memakan korban manusia namun lahan-lahan yang subur menjadi kering dan tidak menghasilkan. Untuk bertahan dari perang terutama bom-bom yang dilemparkan musuh, masyarakat masing-masing desa di kawasan Chu Chi  menggali terowongan dengan alat-alat seadanya. Tua dan muda, laki-laki dan perempuan turut menggali dengan menggunakan cangkul dan linggis.  Masing-masing jalur kemudian disambungkan ke jalur utama sehingga saling terkoneksi.  Tanah  galian yang segera diratakan kembali dan di buang ke sungai pada malam hari. Jika tidak, akan meninggalkan jejak untuk musuh.
Setelah video berakhir, pemandu memberi informasi mengenai sistem terowongan.bawah tanah  sepanjang 250 km itu. Terdiri dari 3 level. Pertama, 2 sampai 13 meter dari permukaan tanah untuk bersembunyi (hidup) dan berperang. Level ke 2, yaitu 6-8 meter merupakan jalur untuk transfer dari satu tempat ke tempat lainnya yang saling terhubung. Sedangkan level 3 yaitu 10-12 meter merupakan jalur untuk keluar dari terowongan yang berakhir di sungai Saigon. .
 “ Those were traps” Kami mendekati lubang jebakan yang di dalamnya terdapat besi-besi tajam yang siap menusuk tubuh musuh. Saya bergidik membayangkannya. Ada beberapa variasi jebakan yang digunakan, dibuat sedemikian rupa sehingga hanya lawan yang terperangkap.
 Kami tiba di pintu masuk terowongan. Awalnya kami tidak menyangka adanya pintu tersebut, karena penutupnya rata dengan tanah dan ditutupi dedaunan kering. Setelah beberapa teman saya dan turis Eropa  lain masuk,  saya pun memberanikan diri. Perasaan khawatir dan takut saya hilang karena masih menghirup udara segar di bawah sana, walaupun saya harus merunduk sebelum sampai ke ruang-ruang yang ada.. Tenang saja, terowongan ini sudah direnovasi sedemikian rupa sehingga ada lampu-lampu penerang. Udara segar dialirkan dari bambu-bambu yang ditanam di dalam tanah Dahulunya, terowongan ini lebih sempit namun sudah diperbesar agar bisa dimasuki turis.
Dalam dokumentasi Mickey Grant, tentara masa perang menceritakan bagaimana mereka bertahan di dalam terowongan.  Kadang bertahan sampai  15 hari dalam terowongan. Harus berbagi oksigen dengan berbaring teratur dan tidak membuat gerakan berlebihan. Makan nasi kering dan bahkan minum urine sendiri untuk bertahan hidup.  Belum lagi ada ancaman jika terowongan diketahui tentara Amerika dan diracun dengan gas mematikan. Namun kehidupan tetap berjalan, ada bayi dan anak-anak yang dibesarkan di dalam terowongan.
Kami mengunjugi ruang rapat dan klinik, tempat para pejuang meyusun strategi dan mengobati tentara perang dengan alat seadanya. Dalam ruang-ruang tersebut terdapat manekin pejuang Vietcong yang menggambarkan suasana pada masa perang. Selain ruang-ruang tersebut, masih banyak ruang fusngsional lainnya seperti gudang senjata dan makanan, sekolah bahkan ruang pertunjukan.
Setelah menelusuri terowongan, kami disuguhi makanan perang singkong rebus yang disajikan dengan campuran kacang tanah dan gula.
Katedaral Notredame
Malam setelah pulang dari Chu Chi, kami mencari makanan halal di pasar Ben Thant, menikmati Pho yang sangat segar dan enak. Juga meneguk kopi Vietnam yang dijual di atas motor. Banyak pedagang ramai menjajakan dagangan pada turis-turis yang kebanyakan turis Asia. Banyak pakaian dan tas murah dengan kualitas bagus. Kami juga  membeli oleh-oleh kaos dan tempelan kulkas di sini.
Dengan berbekal aplikasi hp, kami pun mecari rute menuju Reunifican Palace dan Katedral Notredame. Kedua gedung ini merupakan landmark yang harus dikunjungi ketika berada di Ho Chi Minh.
Katedral Notredame merupakan peninggalan misionaris Perancis yang dibangun pada tahun 1863-1883. Bangunannya khas merah bata  karena tersusun dari dari batu bata dan genteng yang diimpor dari Perancis. Sayang, saya hanya bisa berfoto di luar .  Di depan gereja ada patung Bunda Maria yang ada sejak tahun 1959. Ketika kami datang, ada warga lokal yang sedang berdoa dan bernyanyi dalam bahasa yang tidak saya mengerti. Sembari menunggu saya berdoa, teman-teman saya makan makanan kecil yang dijual oleh ibu-ibu, kacang dan telur puyuh rebus di taman depan katedral.Di seberang jalan, ada pedestarian yang cukup lebar dan banyak warga membeli makanan sambil duduk-duduk menikmati malam dan kota Ho Chi Minh

Mei 2017 -What I Love about travel is I found myself again and again,  amaze with how world  is  formed and how different or same  things in other part of the world. --

Comments

Popular posts from this blog

Cita-cita menjadi seorang dosen

Masih setengah jalan menuju profesi yang dicita-citakan. Sejak kecil, saya ingin berprofesi menjadi seorang guru. Lebih tepatnya guru di desa terpencil. Seorang saudara sepupu saya, ka Servulus Ndoa, tahu sekali cita-cita saya ini. LOL. Kemudian dalam perjalananannya, saya lebih memilih untuk menjadi seorang dosen. Saya tahu tidak mudah dan tidak asal saja menjadi dosen. Komitmen dan dedikasi sepenuh hati. Aissshh, semoga semeste mendukung keinginan anak baru  kemaren sore ini. Tentu jalannya tidak semulus jalan tol.. Bukan seorang  dengan predikat  cum laude, banyak yang harus terus dipelajari, digali, didalami dan dikembangkan (#Tsahhhh, biar kekinian) Banyak hal yang saya persiapkan. Mulai dari otodidak belajar TOEFL selama liburan dan ketika menganggur dan apply-apply beasiswa S2. Terus, aktif menulis remah-reman dalam bahasa Inggris. Maklum edisi belajar, mulai dari update post bbm, twitter, fb, dan blog. Maaf banget buat yang merasa terganggu, alhasil harus n...

Sahabat

 karena lembar demi lembar kisah hidupku, kutulis bersamamu, sahabat... Persahabatan itu memang selalu ada dalam suka dan duka. Ketika kita susah dan butuh dukungan maka mereka menjadi sumber inspirasi kita. Entah dengan bawelnya mereka menunjukan perhatian atau dengan cueknya pun mereka memberi arti tersendiri bagi kita. Sahabat selalu menunjukan cara masing-masing untuk menunjukan cara betapa pedulinya mereka   kita. Bahkan ketika kita sendiri tidak peduli pada apa yang sedang terjadi pada kita. Masing-masing mereka dengan apa yang ada dalam diri mereka. Saya seorang perantau yang tak benar jika dapat bertahan sendiri tanpa kehadiran sahabat. Sungguh sebuah berkat tak terhingga untuk memiliki sahabat di mana saya dapat menjadi diri saya. Berbagi dan merasakan segala sesuatu bersama terlebih lagi belajar menjalani hidup dalam suatu kesempatan, karena sahabat pun harus merelakan sahabatnya untuk menjalin persahabatan dan mengukir kisah lain. Maka tidak heran jika saya me...

"Ga nabung yah jadi bingung"

Ahay..,saya kangen nge blog..Salam kangen dari saya pada sahabat persablogan yang sering berkunjung dan sering saya kunjungi dan sering berbagi bersama. Yay, saya ngepos t lagi . Beberapa jam yang lalu masih di hari yang sama, saya lagi-lagi terpesona dengan beberapa orang lansia yang membuat saya tersenyum dan belajar.   sumber: www.fao.org/docrep/ 005/y4094e/y4094e15.gif Latar cerita, bertempat di sebuah koperasi. Bukan sebuah kantor besar tapi hanya ruang kecil seluas kamar saya. Orang- orang mengantri dengan sebuah buku catatan berwarna biru yang saya sukai, di bangku bermodel sama yang saya duduki ketika sekolah dasar. Di bangku yang berhadapan dengan petugas( bendahara) duduk seorang kakek mengenakan baju berwarna biru dimasukan dalam celana jeansnya, duduk sambil menyerahkan uang dan buku koperasinya serta  menjelaskan kolom mana saja yang harus disi dengan jumlah uang yang ia inginkan. "Tua-tua rajin menabung, cucu-cucu senang, hahahaha,"katanya ketika sele...