Aku masih berharap bahwa kamu akan mulai menyuratiku sementara aku terus menulis suratku padamu. Tak berbalas setelah sekian lama.
"Kamu masih terus berkutat dengan kertas-kertas itu?", kakak perempuanku menepuk punggungku dari belakang. Aku tentu tidak kaget lagi. Sudah sejak tadi, aku mencium kehadiranya mengintai tepat di belakangku.
"Ih, parfumnya, please bisa yang lebih "soft"
"Biasa aja kali...Hari gini mana ada yang mau capek-capek tulis surat. Kamu harus balik lagi ke jaman batu." sahutnya sambil merebahkan diri.
Aku kembali menekuni suratku.
Aku ingin kamu tahu, aku tidak cepat menyerah untuk percaya bahwa suatu hari kamu akan membalas surat-suratku. Aku bukannya tidak kekinian.Kamu tahu, aku punya semua kontakmu. WA, Line, Facebook, BBM, instagram, bahkan Friendster dan YM, medsos jadul yang aku tahu dahulu sekali. Aku bisa saja menyapa tapi aku seperti sudah tahu isi pesan-pesan itu. Aku selalu menganggapnya tak bernyawa. Tak ada emosi. Itu bukan kamu.
Aku ingin sekali tahu kabarmu dan mendengar kamu dan perspektifmu. Pemikiranmu yang kamu sampaikan dalam tiap diskusi kita. Aku ingat pertemuan pertama, lalu kedua dan seterusnya. Kita menikmati kita, alam, pemikiran dan percakapan. Jadi, kamu tahu, aku selalu ingat tiap detailnya. Bagaimana matamu juga berbicara. Masih segar di kepala ketika kita duduk di rerumputan dan menikmati angin sepoi di bawah pohon beringin dan kamu membuat aku tertawa terbahak-bahak.
Kamu juga suka menulis. Kamu bahkan punya sahabat pena. Aku ingat sering menemanimu bolak balik kantor pos. Aku yang menempelkan perangkonya.
"Aku mau, kamu kirimi aku surat", kataku di senja itu ketika kamu pamit.
"Ah, ngapain, kamu tidak hidup di zaman dulu. Video call aja.Gampang."
Aku ingin surat. Walau sepucuk saja. Kamu tahu ga the beauty of writing. Seninya ketika kamu memikirkan kata yang tepat dan menyediakan waktu untuk bermain dengan kata-kata.
Ah, kirimi aku surat. Membayangkanmu menghabiskan waktu, menulis lembar demi lembar sudah membuat aku bahagia. Bandingkan dengan jawaban singkat seperti, OK SIP, OK, O.K., Oh, iya, Oke atau lebih parah seperti bbm yang kelihatan tanda baca R doang atau tanda centang dua biru di whatsapp.Arrrgghh, setelah aku menulis dengan cukup banyak baris.
Ah, kirimi aku surat.
"Ih, kamu maksa banget. Mana ada hari gini mau nulis surat. Udah baca kan sharenya kang Ridwan Kamil. Nah, kamu tuh mirip sama cewe yang kebanyakan nonton drama Korea" suara cibiran si kakak mengagetkanku
Yah, yah, yah, gimana dong, aku mau dikirimi surat.
Garuk kasur.
sources: google |
"Kamu masih terus berkutat dengan kertas-kertas itu?", kakak perempuanku menepuk punggungku dari belakang. Aku tentu tidak kaget lagi. Sudah sejak tadi, aku mencium kehadiranya mengintai tepat di belakangku.
"Ih, parfumnya, please bisa yang lebih "soft"
"Biasa aja kali...Hari gini mana ada yang mau capek-capek tulis surat. Kamu harus balik lagi ke jaman batu." sahutnya sambil merebahkan diri.
Aku kembali menekuni suratku.
Aku ingin kamu tahu, aku tidak cepat menyerah untuk percaya bahwa suatu hari kamu akan membalas surat-suratku. Aku bukannya tidak kekinian.Kamu tahu, aku punya semua kontakmu. WA, Line, Facebook, BBM, instagram, bahkan Friendster dan YM, medsos jadul yang aku tahu dahulu sekali. Aku bisa saja menyapa tapi aku seperti sudah tahu isi pesan-pesan itu. Aku selalu menganggapnya tak bernyawa. Tak ada emosi. Itu bukan kamu.
Aku ingin sekali tahu kabarmu dan mendengar kamu dan perspektifmu. Pemikiranmu yang kamu sampaikan dalam tiap diskusi kita. Aku ingat pertemuan pertama, lalu kedua dan seterusnya. Kita menikmati kita, alam, pemikiran dan percakapan. Jadi, kamu tahu, aku selalu ingat tiap detailnya. Bagaimana matamu juga berbicara. Masih segar di kepala ketika kita duduk di rerumputan dan menikmati angin sepoi di bawah pohon beringin dan kamu membuat aku tertawa terbahak-bahak.
Kamu juga suka menulis. Kamu bahkan punya sahabat pena. Aku ingat sering menemanimu bolak balik kantor pos. Aku yang menempelkan perangkonya.
"Aku mau, kamu kirimi aku surat", kataku di senja itu ketika kamu pamit.
"Ah, ngapain, kamu tidak hidup di zaman dulu. Video call aja.Gampang."
Aku ingin surat. Walau sepucuk saja. Kamu tahu ga the beauty of writing. Seninya ketika kamu memikirkan kata yang tepat dan menyediakan waktu untuk bermain dengan kata-kata.
Ah, kirimi aku surat. Membayangkanmu menghabiskan waktu, menulis lembar demi lembar sudah membuat aku bahagia. Bandingkan dengan jawaban singkat seperti, OK SIP, OK, O.K., Oh, iya, Oke atau lebih parah seperti bbm yang kelihatan tanda baca R doang atau tanda centang dua biru di whatsapp.Arrrgghh, setelah aku menulis dengan cukup banyak baris.
Ah, kirimi aku surat.
"Ih, kamu maksa banget. Mana ada hari gini mau nulis surat. Udah baca kan sharenya kang Ridwan Kamil. Nah, kamu tuh mirip sama cewe yang kebanyakan nonton drama Korea" suara cibiran si kakak mengagetkanku
Yah, yah, yah, gimana dong, aku mau dikirimi surat.
Garuk kasur.
Comments
Post a Comment
Terima kasih sudah dibaca,semoga bermanfaat. Silakan menuliskan komentar Anda. Terima Kasih