Beberapa dari kami teman-teman lama, sharing dan bercerita. Dulunya kami bersama dalam kurun waktu yang lama dan lingkungan yang kurang lebih sama, demikian pula latar belakang kami. Mahasiswa dari kampung yang tetiba di kota dan survive dengan adaptasi, Itu tahap satu.
Lalu tibalah kami di tahap dua. Bertemu orang-orang baru dengan latar belakang sama dari kampung. Lalu ternyata banyak bedanya. Teman saya bercerita bahwa dia ilfil dengan beberapa kelakuan teman-temannya itu. Serba sok. Sok karena sebentar lagi mereka akan menempuh pendidikan tinggi di luar negeri. Sok karena mereka lebih pintar dan lebih apa-apa dari anak muda kebanyakan. Saya tentu bisa membayangkan bagaimana perilaku mereka. Beberapa yang saya temui memang begitu. Menjadi susah untuk diskusi dan didekati, misalnya karena masing-masing punya ego tinggi.
Akhir diskusi kami adalah bahwa teman-teman ini memang baru dapat rejeki. Jadi perilakunya masih semacam shock begitu. Mereka belum ketemu banyak orang, belum banyak pengalaman.
Teman saya, senior saya ini, sudah punya pengalaman seabrek, berkomunikasi lintas daerah dan negara, dan kece sekali. Pantas, dia menyayangkan putra putri daerah ini terlalu sombong dan bahkan kesukuan masih tinggi, padahal ketika bertemu banyak orang adalah saat kita mengosongkan diri, dalam artian belajar banyak dari orang lain. Bisa dengan mendengarkan, sharing dan gaya bicara sederhana.
Saya menulis ini karena ini bisa jadi PR buat saya. Mengingatkan diri sendiri sebagai pribadi lemah. Beberapa dari kami ketika di tahap satu, cukup beruntung, karena menjadi minoritas mendesak kami banyak belajar dan bergaul dengan orang-orang yang pencapaiannya lumayan namun selalu tampil apa adanya. Dari situ kami belajar.
Obrolan kami juga sebenarnya bisa salah. Mungkin kami salah menilai atau kami yang terburu-buru men-judge. Bisa begitu, semoga kita sama-sama belajar jadi orang baik dan berguna yang makin merunduk.
Lalu tibalah kami di tahap dua. Bertemu orang-orang baru dengan latar belakang sama dari kampung. Lalu ternyata banyak bedanya. Teman saya bercerita bahwa dia ilfil dengan beberapa kelakuan teman-temannya itu. Serba sok. Sok karena sebentar lagi mereka akan menempuh pendidikan tinggi di luar negeri. Sok karena mereka lebih pintar dan lebih apa-apa dari anak muda kebanyakan. Saya tentu bisa membayangkan bagaimana perilaku mereka. Beberapa yang saya temui memang begitu. Menjadi susah untuk diskusi dan didekati, misalnya karena masing-masing punya ego tinggi.
Akhir diskusi kami adalah bahwa teman-teman ini memang baru dapat rejeki. Jadi perilakunya masih semacam shock begitu. Mereka belum ketemu banyak orang, belum banyak pengalaman.
Teman saya, senior saya ini, sudah punya pengalaman seabrek, berkomunikasi lintas daerah dan negara, dan kece sekali. Pantas, dia menyayangkan putra putri daerah ini terlalu sombong dan bahkan kesukuan masih tinggi, padahal ketika bertemu banyak orang adalah saat kita mengosongkan diri, dalam artian belajar banyak dari orang lain. Bisa dengan mendengarkan, sharing dan gaya bicara sederhana.
Saya menulis ini karena ini bisa jadi PR buat saya. Mengingatkan diri sendiri sebagai pribadi lemah. Beberapa dari kami ketika di tahap satu, cukup beruntung, karena menjadi minoritas mendesak kami banyak belajar dan bergaul dengan orang-orang yang pencapaiannya lumayan namun selalu tampil apa adanya. Dari situ kami belajar.
Obrolan kami juga sebenarnya bisa salah. Mungkin kami salah menilai atau kami yang terburu-buru men-judge. Bisa begitu, semoga kita sama-sama belajar jadi orang baik dan berguna yang makin merunduk.
Comments
Post a Comment
Terima kasih sudah dibaca,semoga bermanfaat. Silakan menuliskan komentar Anda. Terima Kasih