Aku sudah terlampau tua untuk mengeluh, ketika pagi hari mulai, siang datang dan malam pun hendak berganti. Tak henti-hentinya kata-kata bernada amarah, cemooh dan pesimistis keluar dari mulutku. Ah, mulut yang tak tahu malu. Tak pandai berbicara tapi diam-diam mengumpat. Terus mengumpat hingga hari berakhir.
Aku melihat dia. Dia cantik, molek, ayu, punya segalanya, dipuja banyak orang baik itu lelaki, dari berbagai kalangan, kakek-kakek dan brondong sekalipun. Bahkan tak ketinggalan ibu-ibu, tante-tante dan anak-anak kecil.
Ah, aku muak. Aku bilang dia berwajah manis tapi berhati jahat. Bermuka dua. Penjilat. Suka cari perhatian, wajah oke tapi tak berotak dan aku puas. Oh, biarkanlah dunia melihat dia seperti mawar cantik yang elok, harum dan mewangi. Tapi aku bilang dia seperti bunga bangkai. Busuk dan bau.
Hei kamu, jangan bilang aku iri dengan segala yang dia punya. Dia memang punya segalanya. Tapi tahukah kamu kalau dia merebut semuanya dariku? Yah, semuanya. Hingga aku tak punya apa-apa. Biar saja dia ambil semuanya, ambil. Perhatian ibuku, perhatian ayahku.
Tahukah kamu bila aku hidup dalam bayang-bayangnya. Aku terbenam jauh di bawah punggungnya, merunduk. Bertahun-tahun .
“Coba kamu seperti dia , nak. Rajin, pintar, suka membantu, cantik lagi...”suara ibu yang harusnya menenangkanku malah membuat jiwaku remuk.
Aku mencoba berteriak, aku inilah anakmu, Bu. Lihat aku! Tapi apa daya matanya, perhatiannya telah terbagi pada sang putri dan aku hanya bayang-bayang. Tidak sekali, tapi berkali-kali dalam seperempat abad umurku. Siapakah aku? Aku bahkan tidak tahu.
Ayah, aku berusaha menyatakan padamu. Berkali-kali. Lihat aku. Tak cukup dengan kata-kata, karena jiwaku sudah berteriak-teriak marah. Aku kabur dari rumah. Polisi yang menangkapku saja menduga, aku berperilaku karena kurang perhatian ayah, ibu.
Tapi, lagi-lagi yang keluar dari mulut ayah. Rasanya sudah berkali-kali aku dengar.
“Kamu? Dasar anak kurang ajar! Bikin masalah terus. Kamu lihat dong, si Rani. Coba kamu contoh dia....!”
(Sebuah Cerpen yang di post bersambung)
Di tunggu kelanjutannya Mbak, salam :)
ReplyDeleteah, kok mendalam sekali,
ReplyDeleteseperti kisah nyata yang coba dituturkan..
terkadang memang sang rumput tak mempunyai bunga-bunga indah yang dapat dilihat dengan mata banyak orang, tapi bagaimanapun rumput dapat tumbuh dengan tanah tertandus sekalipun..
semoga ending "si rumput" bahagia..
ros.. kok bs nulis cerpen gini seh.. dhe dr dl blajar, ga bs2 tryus.. hikz
ReplyDeleteMenunggu ending untuk memberi komentar ;)
ReplyDeletepenasaran...dg endingnya
ReplyDeleteKasihan ya, jika selalu jadi bayang2 spt itu. Serasa eksistensinya gak diakui oleh lingkungan sekitarnya..
ReplyDeleteBTW, jadi pengen tahu kelanjutannya.
yup emang vrada sebel sama ibu yang suka banding2 in kita sama orang. :(
ReplyDeleteahh... that's a cerpen
ReplyDeleteditunggu kelanjutannya ya Rose :)
pualing sebel kalo dibandingbandingin.. si itu lebih ini lah, si anu lebih itu lah..
ReplyDeleteckckck.. apalagi kalo ortu sendiri yang ngelakuin itu, tambah sebel aja.
ditunggu sambungannya.
just like everyone else..
ReplyDeleteditunggu kelanjutannya...
:)
wha mbak,.
ReplyDeletecrt na keren bgt !!!!
klu ku sang penulis na,.
ku akan melanjutkan crt na tntg "rumput" yg meninggal dunia dan ortu nya pun sgt menyesal atas perbuatan mrk selama nhe terhadap "rumput" tersebut semasa hidup nya !!!!
(≧◡≦)
ku menunggu ending selanjut nya yha mbak !!!!
(~�▽�)~ (~�▽�)~ (~�▽�)~
suka :) teruskan :)
ReplyDelete