Saya baru selesai membaca Laut Bercerita. Sudah cukup lama saya menginginkan untuk punya bukunya. Namun sayang keterbatasan akses dan memikirkan biaya kirim yang mahal dan kebutuhan yang banyak, keinginan untuk membeli online pun diurungkan. Syukurlah, saya akhirnya memutuskan berlangganan Gramedia digital. Voila, saya dapat langsung membaca laut bercerita.
Buku ini berlatar belakang sejarah orde baru. Bagaimana
orang-orang kritis waktu itu dibungkam, pergerakan diawasi dengan ketat dan
banyak orang hilang begitu saja. Bagaimana sekelompok mahasiswa aktivivis
menjadi buronan karena dicari sebagai biang rusuh. Dicari siapa diatasnya,
siapa petinggi. Entah tidak mau tahu bahwa tidak butuh siapa-siapa untuk
bergerak dan berjuang melawan ketidakadilan. Hanya butuh empati dan simpati
dengan orang-orang yang tidak mendapatkan keadilan. Tidak disuruh siapa-siapa
tapi karena tahu dan sadar bahwa selama berpuluh tahun pemerintahan dijalankan orang
yang sama.
Kisah sekelompok orang muda ini dibuat begitu detail. Kita
pembaca diajak berjalan bersama di ruang-ruang waktu Laut, tokoh utama.
Bagaimana Laut menceritakan orang-orang terdekatnya seperti orang tua, saudarinya,
Asmara dan kekasihnya, Anjani. Juga karakter teman-teman perkumpulannya. Rasanya
saya dapat membayangkan sekre-sekre kemahasiswaan di kampus-kampus. Secara personal,
saya tidak aktif di sekre mana pun di kampus tetapi saya dapat membayangkan gambaran
ruang wisma SY di Depok (saya Latihan padus Ave di sana) atau sekre Komjak di Kanisius
ketika kami melakukan diskusi-diskusi. Terasa ramainya dengan manusia berbagai
karakter dan latar belakang. Ini membuat kita sebagai pembaca dapat menjadi
dekat karena berhubungan dengan pengalaman pribadi. Namun ketika Laut mulai menggambarkan
detail ruang dan perasaan yang dirasakan ketika matanya ditutup paksa, saya
bergidik. Untuk merasakan keleluasaan berekspresi seperti sekarang ini (?aww,
we have UU ITE), ada sekumpulan orang yang ditangkap, dihilangkan, dibawa pergi
dari keluarga dan orang-orang terkasih. Kekosongan hidup setelah kehilangan atau
penolakan akan kenyataan membayangi seumur hidup. Siapakah yang bertanggung
jawab?
Secara umum saya menikmati cerita ibu Leila Chudori ini.
Membekas. Beberapa hari saya membaca dan merasa pening karena air mata berlinangan
begitu saja. Kepala jadi pusing karena menangis dalam diam. Mengetahui bahwa
ada orang-orang yang hidupnya ditarik pergi begitu saja. Mengetahui bahwa
keluarga terus mengingat mereka dalam ketidakjelasan. Dengan mengenang mereka
dan menuliskan sedikit review, saya kira, salah satu cara untuk menghargai
kisah dan nilai-nilai yang mereka perjuangkan.
Pada malam yang gelap, dengan semilir angin sepoi
Salam baik, meski tidak ada nisan untuk sekedar menaruh
karangan bunga
Atau menunduk berdoa bahwa jasad dibawa pulang dan
menyatu
Mungkin selaras alam, berganti musim, lautan, tanah
hanyalah ruang-ruang
Kekal tidak bersekat
Untuk mereka yang dihilangkan
x
Waa pengen baca buku ini, sepertinya bagus banyak juga yg merekomendasiin buku ini
ReplyDeleteMasuk list dulu. Masih isoman jadi blm bisa keluar hehe.
ReplyDeleteBuku ini patut dibaca, terima kasih telah berbagi inspirasi dan informasi, Mbak.
ReplyDelete