Sebuah tulisan persembahanku untuk Bapak.
“Catatlah semua perjalananmu dalam lembar demi embar buku itu. Setiap hari, apa pun yang kamu temukan di tanah orang. Tanah rantau. Biar nanti ada ceritamu buat bapak,” kata bapak sambil memberikan sebuah buku bersampul hitam. Berwarna keemasan di ujungnya.
Aku tahu buku bertuliskan agenda itu. Mirip punyamu, pak. Buku yang selalu kau pakai untuk menulis di saat senja datang, di ruang tengah rumah kita. Dan kubawakan segelas kopi hangat yang menjadi temanmu.
Aku tertunduk sambil menerima buku itu. Tak ingin menatap mata bapak. Dia duduk di sampingku lalu memintaku untuk menuliskan kata-kata yang di ejanya satu demi satu, dituliskan di halaman depan agar aku dapat melihatnya setiap hari. Di setiap saat ketika aku bercerita untuk bapak.
Dia melambai padaku. Mengantar kepergianku di ujung jalan yang membawaku pergi menghilang dari pandangannya. Di balik kaca bus yang berdebu kukuatkan hati untuk melihat ke depan tanpa menoleh lagi. Aku hanya terisak di sepanjang jalanku ketika mengenang malam demi malam menjelang perpisahan kami. Tak banyak kata seperti ibu, yang menghabiskan siang dan malam membelaiku dengan buaian kata-kata bijaknya agar aku terlelap dan bangun dalam dekapannya.
Bapak dengan bukunya di kursi tengah. Duduk seperti biasanya, seperti tak akan ada seorang gadis yang akan keluar dari pintu rumahnya dengan koper besar. Ah, bapak yang selalu mendukungku. Masih belum kulangkahkan kakiku keluar dari pulau pak, masih di tanah yang sama dan aku telah menulis untukmu. Menulis rasa ketika aku, engkau percayai untuk mengembangkan sayap-sayapku. Sayap yang telah engkau jaga dengan kepercayaan , engkau tumbuhkan dengan cinta.
Bapak, awalnya sayapku lemah ketika kuinjakan kaki di tanah orang. Di sini langit malam berbeda, tak penuh bintang seperti di sana, ketika sedari senja telah kita lihat bintang dan karena hari demi hari yang ada hanya bayangmu dan ibu.
Mom, Dad, Us, Wig and San
Miss you all badly,
in the day before Easter,
“Catatlah semua perjalananmu dalam lembar demi embar buku itu. Setiap hari, apa pun yang kamu temukan di tanah orang. Tanah rantau. Biar nanti ada ceritamu buat bapak,” kata bapak sambil memberikan sebuah buku bersampul hitam. Berwarna keemasan di ujungnya.
Aku tahu buku bertuliskan agenda itu. Mirip punyamu, pak. Buku yang selalu kau pakai untuk menulis di saat senja datang, di ruang tengah rumah kita. Dan kubawakan segelas kopi hangat yang menjadi temanmu.
Aku tertunduk sambil menerima buku itu. Tak ingin menatap mata bapak. Dia duduk di sampingku lalu memintaku untuk menuliskan kata-kata yang di ejanya satu demi satu, dituliskan di halaman depan agar aku dapat melihatnya setiap hari. Di setiap saat ketika aku bercerita untuk bapak.
mirip banget, cuma sampulnya beda, dapat dari http://www.kotakpensil.com/ |
Dia melambai padaku. Mengantar kepergianku di ujung jalan yang membawaku pergi menghilang dari pandangannya. Di balik kaca bus yang berdebu kukuatkan hati untuk melihat ke depan tanpa menoleh lagi. Aku hanya terisak di sepanjang jalanku ketika mengenang malam demi malam menjelang perpisahan kami. Tak banyak kata seperti ibu, yang menghabiskan siang dan malam membelaiku dengan buaian kata-kata bijaknya agar aku terlelap dan bangun dalam dekapannya.
Bapak dengan bukunya di kursi tengah. Duduk seperti biasanya, seperti tak akan ada seorang gadis yang akan keluar dari pintu rumahnya dengan koper besar. Ah, bapak yang selalu mendukungku. Masih belum kulangkahkan kakiku keluar dari pulau pak, masih di tanah yang sama dan aku telah menulis untukmu. Menulis rasa ketika aku, engkau percayai untuk mengembangkan sayap-sayapku. Sayap yang telah engkau jaga dengan kepercayaan , engkau tumbuhkan dengan cinta.
Bapak, awalnya sayapku lemah ketika kuinjakan kaki di tanah orang. Di sini langit malam berbeda, tak penuh bintang seperti di sana, ketika sedari senja telah kita lihat bintang dan karena hari demi hari yang ada hanya bayangmu dan ibu.
Namun seiring halaman demi halaman buku yang kau berikan padaku, penuh tinta hitam dan menebal, aku tumbuh. Sayapku, pak. Seiring warna keemasan di kedua ujung buku memudar dan memucat, tapi sayapku bercahaya pak. Aku siap terbang merangkai mimpi-mimpiku, mimpi-mimpi kita bapak, bersama sayap keemasanku.
Mom, Dad, Us, Wig and San
Miss you all badly,
in the day before Easter,
hmmm, seringkali saat aku sendirian aku lebih memilih bercakap dengan suara hatiku, berbeda dengan kamu...bisa menulisnya di buku.
ReplyDeleteaku juga kangen Abi, Ibu sama mbak dan mas2ku...tulisanmu membuatku merasakan betapa berharganya dukungan dari anggota keluarga kita mbak Rosa. terima kasih :)
wow ... saya suka gaya bahasanya :)
ReplyDeletemembuatku melayang gimana gitu *_*
setuju sama jon tero.... bahasanya baguuuusss.... :)
ReplyDeletehumm... ayahmu hebat juga menghadiahkan buku ke kamu seperti itu.
ReplyDeleteaku sendiri mulai aktif menulis jurnal di buku kaya' kamu sejak pertama di rantau. menulis di jurnal(diari) adalah salah satu caraku menghadapi kegamangan di daerah yang masih asing.
tentu saja nulis dengan pena jauh lebih relax. malah sempat menjadi semacam ritual ku saat itu.
sekarang malah jarang, hahahaha. miss that time so freakin' bad..
#ini ko' saya malah sibuk curhat sendiri sih, hahaah
teruskan menulis! kepakkan sayapmu! SEMANGAAAAAT!
Terkadang merindukan orang yang kita cintai memunculkan sejuta ide dalam menulis. Salam :D
ReplyDeletehadiah yang bermakna...
ReplyDeletedengan menulis kita bisa merekam (bahkan membagi) catatan perjalanan kita
salam buat bapak, mbak! :D
hmmm...jadi ingat bapak saya...
ReplyDeletebesok saya telp dia dehh.. :)
salam :)
@Ajeng: wah makasih bnyak..,:)
ReplyDelete@John Terro: wah ntar jatuh mas klo melayang melulu, huhu, makasih yaaa..
@Noel Lubis: hoho, g boleh ngikut..makasih..:)
@Huda: huaaaaa super duper panjang mas Huda..hahahaha, g pa2 lah..,hoho ayo nulis d kertas lagi..
@Amy: iya Mi, salam balik makasih udah berkunjung
@Adhi: makasih Adhi, :)
@Nufri:hehehe, iya Mas ayok telpon..salam dr saya..hehehe
nice article. jadi ingat papaku juga.
ReplyDeleteKadang nanti seiring berjalannya waktu, semua kisah dan kenangan yang tertuang didalamnya menjadi harta yang nggak akan ternilai oleh apapun juga loh!..
ReplyDeleteTerharu saya membacanya.. nice post. I wish I could have a Dad but he passed away when I was 3yo.
ReplyDeleteYour Dad must be proud of you, sis..
Salam :D
kalau lagi kangen emang bikin pengen nulis. biasanya akan muncul kata2 yg baru, hehe *sok tau
ReplyDeletesuka banget!!!
ReplyDeleteweeeew.. nyentuh banget... ^_^
ReplyDeletekok bisa samaan ya papa ku juga punya buku agenda semacam itu,
jagi kangen papa yang tinggal jauh :(
Gaphe:iya Gaphe, hehe pengen diturunkan haha
ReplyDelete@mba Mimisinga: wah mba yg berani, g tkut sama singa ya..:) makasih mba, tetap semangat,,,
@Yen:hehehe,,,iya mbak.
@echi: makasih Chi:)
@mba Yhantee:hehe, iya bapak2 kan suka punya ya..dari dulu aku uda akrab sama buku2 kykk gitu..:)
semoga kangennya bisa terobati segera ;)
ReplyDeleteah, jadi penasaran sama isi buku yang kamu sama bapakmu tulis. ada kemungkinan diterbitin ngga? hahah.
ReplyDeletesemangat y! salam buat ayah ibunya rose :)
bagus banget tulisanmu. ngena banget.
ReplyDeleteaku jd ingat Bapakku yg tugas di luar kota:(
aku mendadak rindu akan sosok ayahku ^___^ .....
ReplyDeleteaku sukaaaakkk sama tulisanmu yang ini. pingin nangis bacanya. jadi pingin peluk Ocha. dan kangen kamar nomer 5 di pondok labu. hehehehe
ReplyDelete